PADA MULANYA ADALAH FIRMAN
Steve
McVey, salah seorang pengajar hyper grace, dalam bukunya
Grace Walk: What You’ve Always Wanted in the Christian
Life, menulis: “Saya sangat merekomendasikan supaya Anda
meninggalkan nilai-nilai Kristen... Berfokus kepada
sistem nilai bukanlah cara Tuhan untuk kita hidupi.
Tuhan tidak pernah menawarkan supaya gaya hidup kita
dibangun di atas prinsip benar dan salah.” Selanjutnya
dikatakan: “Allah menghendaki hidup kita dibangun di
atas pribadi Anak-Nya”.
Tidak banyak orang yang mengetahui bahwa ajaran seperti
ini pernah juga keluar dari mulut seorang Dietrich
Bonhoeffer (1906-1945), seorang hamba Tuhan yang dihukum
mati di tahun 1945 karena menentang Hitler. Ia dikenal
sebagai orang yang meninggalkan warisan pengajaran
tentang pemuridan yang radikal, yang juga mencetuskan
istilah cheap grace (kasih karunia murahan). Salah satu
kutipan pengajaran yang terkenal dari Bonhoeffer adalah:
Quote:
“Hanya orang percaya yang taat,
hanya orang taat yang percaya.”
Akan tetapi pada tahun 1928, sebagai seorang gembala
pembantu berusia 20-an, Bonhoeffer dengan agresif
mengkhotbahkan pesan-pesan pemuridan yang radikal. Ia
mengajarkan: “Kristus tidak memberikan kepada kita
rumusan-rumusan etika ... Kekristenan bukanlah tentang
seperangkat aturan baru yang lebih baik tentang perilaku...
Pesan Kekristenan pada dasarnya bersifat tanpa moral”.
Beberapa tahun kemudian, pada 1933 tepatnya, peristiwa
bersejarah terjadi di Jerman, Hitler mulai berkuasa.
Bersamaan dengan itu, sebagian besar gereja mulai
berkompromi dan mendukung agenda Hitler; bahkan memasang
lambang Swastika (lambang pemerintahan Nazi di bawah
Hitler) di dalam gedung-gedung gereja. Bonhoeffer, yang
menyatakan ketidaksetujuannya terhadap peninggian
Hitler, mendapatkan cacian dan olokan dari gereja-gereja
yang ada. Peristiwa ini begitu berdampak dalam kehidupan
Bonhoeffer dan di titik inilah pengajarannya mulai
berbalik arah. Ia tidak lagi mengajarkan konsep murid
yang hanya sekedar percaya dengan pikiran, akan tetapi
murid yang memikul salib dan bersedia menanggung
penderitaan karena Kristus.
(Kisah ini disarikan dari buku: Discipleship, Dietrich
Bonhoeffer Works, Vol. 4; salah satu buku yang paling
berpengaruh bagi Kekristenan di abad ke-20)
Banyak pengajar kasih karunia over dosis yang hari-hari
ini menawarkan suatu gaya hidup di mana orang hanya
perlu berfokus kepada hubungan dengan pribadi Yesus, dan
tidak perlu – bahkan dilarang – untuk hidup berdasarkan
perintah dan ketetapan Firman-Nya. Orang-orang
dikondisikan untuk memilih antara Pribadi Yesus atau
Firman Tuhan. Tidak ada opsi untuk memilih keduanya –
Pribadi Yesus dan Firman-Nya, seolah-olah kedua hal
tersebut bertentangan satu dengan yang lain. Apabila
orang memilih untuk hidup berdasarkan nilai dan
ketetapan dalam Firman-Nya, maka orang tersebut menjadi
legalistik dan pasti hidup menjauh dari hubungan dengan
pribadi Yesus. Benarkah demikian? Tidak ada yang lebih
menyesatkan daripada anggapan seperti itu!
Yohanes 1:1: “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu
bersama sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah”.
Sesungguhnya, pribadi Yesus tidak terpisahkan, bahkan
identik, dengan Firman-Nya. Apa yang ada di benak
Yohanes ketika ia memperkenalkan Firman? Yohanes
meminjam sebuah gambaran dari Perjanjian Lama, dimana
Firman memiliki kuasa penciptaan (Kejadian 1:3,9, Mazmur
33:6) dan lewat Firman-Nya, Tuhan berkomunikasi secara
pribadi dengan umat-Nya (Kejadian 15:1). Bukan suatu
kebetulan jika Yohanes yang sama, di dalam Kitab Wahyu
menulis tentang hubungan pribadi antara Tuhan dengan
ketujuh jemaat-Nya (Wahyu 2-3). Ketujuh jemaat ini
tentunya adalah jemaat yang telah ditebus dengan
darah-Nya dan diselamatkan hanya oleh kasih karunia
lewat iman. Hubungan ini digambarkan terjadi lewat
serangkaian Firman, yang meliputi baik pujian maupun
teguran dan bahkan ‘ancaman’ dan ditutup dengan sebuah
perintah “Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan
apa yang dikatakan Roh kepada jemaat-jemaat” (Wahyu 2:7,
11, 17, 29; 3:6, 13, 22). Bagaimana mungkin para
pengajar hyper grace bisa memisahkan hubungan pribadi (dengan
Yesus) dari perintah dan ketetapan-Nya? Tidakkah dengan
demikian mereka sedang menawarkan sebuah pola hidup
anarkis? (Menurut Kamus Merriam-Webster, ‘anarkis’
berarti: “tidak mengikuti atau memiliki hukum atau
aturan: liar dan tidak terkendalikan”).
Pada hakikatnya, hubungan pribadi dengan Tuhan terjadi
dan dimungkinkan ketika umat Tuhan meresponi Firman-Nya,
perintah dan ketetapan-Nya. Karena itulah, Yohanes
kembali menulis di dalam suratnya: “Dan inilah tandanya,
bahwa kita mengenal Allah, yaitu jikalau kita menuruti
perintah-perintah-Nya. Barangsiapa berkata: Aku mengenal
Dia, tetapi ia tidak menuruti perintah-perintah-Nya, ia
adalah seorang pendusta dan di dalamnya tidak ada
kebenaran. Tetapi barangsiapa menuruti firman-Nya, di
dalam orang itu sungguh sudah sempurna kasih Allah;
dengan itulah kita ketahui, bahwa kita ada di dalam Dia”
(1 Yohanes 2:3-5). “Jikalau kamu menuruti perintah-Ku,
kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku, seperti Aku
menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya”
(Yohanes 15:10).
1 Yohanes 2:5 dengan jelas menyatakan bahwa kasih Allah
(atau kasih kepada Allah, dalam terjemahan NIV) menjadi
sempurna ketika kasih itu menggerakkan kita ke dalam
ketaatan. Kasih kepada Allah sesungguhnya bukan hanya
sekedar perasaan, akan tetapi juga sebuah respon moral.
Perlu juga ditekankan bahwa ketaatan dan respon moral
yang diminta Yohanes bukanlah tindakan sesaat. Kata
‘menuruti’ pada ayat ini, dalam bahasa aslinya memakai
bentuk tata bahasa yang berarti suatu tindakan yang
dilakukan terus-menerus. Dengan demikian, ayat ini dapat
dibaca seperti ini: “Tetapi barangsiapa terus-menerus
menuruti firman-Nya, di dalam orang itu sungguh sempurna
kasih (kepada) Allah”.
Kita-lah Yohanes-Yohanes di akhir zaman, yang intim
dengan Yesus (Yohanes 13:23,25), yang terus-menerus
melakukan perintah-Nya karena kasih (Yohanes 15:10), dan
yang tetap takut dan gentar akan Dia (Wahyu 1:17).
MARANATHA!
“Firman dan Allah adalah pribadi yang tidak terpisahkan.
Jika kita mau mengenal Allah maka kita juga harus
mengenal Firman-Nya, karena Firman itu adalah Allah
sendiri.” (HT)